Sabtu, 19 Juli 2014

Sikap Untuk Bangsaku Part II


Kini setelah mendapat persetujuan dari keluarga, Yoga sekarang tercatat sebagai salah satu mahasiswa di universitas negeri terbaik di Jakarta di Falkutas Hukum. Sejak dulu Yoga memang sudah memimpikan untuk bisa menyandang gelar sarjana hukum, sama seperti sahabatanya Harrys yang sekarang juga mengambil jurusan hukum. Bedanya adalaha Harrys berada di bawah naungan salah satu universitas terbaik di Inggris. Meskipun sekarang mereka terpisah oleh jarak yang cukup jauh, namun intesitas komunaksi mereka terus berjalan. Maklumlah, kedua orang ini memang sudah begitu dekat sejak kecil. Namun kali ini mereka harus terpisah sejenak untuk mimpi mereka masing-masing.

Setiap hari Yoga menjalani rutinitas perkuliahan yang begitu padat. Panas ibukota yang selalu sama dan tidak bisa diajak kompromi itu, serta macetnya jalan tak membuat Yoga untuk mengeluh mengendarai sepeda motornya  menuju kampus. Kali ini dia berangkat berboncengan dengan salah satu teman sekelasnya yaitu Adit. Anak mudah seperti Yoga dan Adit memang sedang asyik-sayiknya kuliah. Apalagi Yoga terbilang aktif mengikuti kegiatan dan banyak mengikuti organisasi di kampus. Namun Yoga begitu senang, karena untuk itulah kita hidup, untuk berkarya, kita masih mudah kawan.

Lampu merah, dan sebagai pengendara yang baik, Yoga mematuhi peraturan yang ada. Dia tak mau hanya karena memburu waktu untuk segera tiba ke kampus harus melanggar aturan yang ada, mungkin saja ia tidak akan rugi karena bisa segera tiba dengan cepat. Tapi resikonya adalah dia bisa merugikan pengendara lain. Hal yang besar pada dasarnya bermula dari pelanggaran kecil.

“Mas minta uang mas” seorang anak kecil tiba-tiba datang menghampiri Yoga dengan tatapan dan suara memelas. Hal itu membuatnya miris. Namun tak ada balasan dari sapaan anak kecil itu. Yoga hanya melambaikan tangan kosong. Sebagai isyarat bahwa dia tidak akan memberikann apa-apa dan menyuruhnya segera pergi.

“Yoga, beri uang seribuan aja, kasihan” suara Adit tampak menyuruh dari belakang. 

“Aku bukannya anti beramal Dit, tapi ini masalah ideologi dan karakter bangsa kita kelak. Untuk memberikan uang pada pengamen terkhusus kepada anak-anak kecil di jalanan seperti ini adalah sebuah kesalahan. Dengan mudahnya kita memberikan uang, mereka akan mengira mencari uang itu adalah hal yang gampang dan tidak perlu perjuangan. Cukup minta sana-sini, maka uang akan muncul sendiri. Jika mental itu terbawa hingga mereka dewasa, bukankah negeri ini akan semakin terpuruk?” Jawab Yoga dengan lantang dan meneruskan perjalanan mereka. 

“Iya benar sih. Makin miris juga tiap hari melihat makin banyak anak-anak yang mengemis di jalanan”

“Itulah. Jika memiliki uang lebih, sepertinya lebih aman jika kita sumbangkan pada dinas sosial saja. Untuk selanjutnya, uang itu digunakan mengurus anak-anak jalanan agar lebih memiliki masa depan. Sepertinya itu lebih baik Dit” Yoga sedikit menyarankan

Ya, seperti itulah prinsip Yoga yang selalu tidak akan berubah, selalu analisa dengan matang sebelum bertindak. Bertatap muka dengan pengamen-pengamen yang didominasi anak kecil itu bukanlah hal yang baru lagi untuk Yoga. Namun hal itu tidak pernah membuatnya patah semangat untuk terus menuntut ilmu di universitas terbaik se-Indonesia itu.

Menyimak, memperhatikan, bahkan menanyakan ulang apa yang belum dipahami sudah menjadi hal yang mutlak dalam proses pembelajaran. Sepertinya anak yang sekarang berusia 18 tahun ini tak mau hanya menjadi mahasiswa yang sekedar datang, duduk, dan diam semata. Dia mau berkembang dan bersosialoisasi agar kelak dia bisa menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Yoga sadar anak muda seperti dirinya, harus memupukkan semangat yang besar untuk melakukan hal-hal positif guna di masa tua nanti tak ada penyesalan yang hadir.

Perjalan perkuliahan Yoga memang nampak begitu menyenangkan namun kadang terbilang sulit. Di awal-awal dia harus bersosialisasi dengan wajahg-wajah baru. Namun ada pula beberapa wajah yang sudah tidak asing lagi, karena beberapa teman semasa bangku SMA dulu. Tapi satu hal yang membuat Yoga merasa bangga melanjutkan studinya di Negara sendiri adalah tak lain dan tak bukan banyak dari warga Negara tetangga yang rupanya juga menjatuhkan pilihan mereka di Indonesia. Sungguh suatu kebanggaan! Itu bisa membuktikan bahwa pendidikan Indonesia juga layak dibanggakan. Meskipun Yoga sadar belum bisa menjadi terbaik di mata dunia. Bertahun-tahun ia harus memupuk semangat dan menambah penegtahuan serta bersosialisasi dengan banyak macam karakter. Bahkan setiap hari Yoga selalu bertukar informasi pada mereka yang baru memulai pendidikan di Indonesia. Yoga tak segan memberi pengetahuan tentang budaya, serta makanan khas yang ada di negeri ini. Begitu sederhana, tapi buatnya itu bisa menjadi nilai tersendiri agar kebudayaan yang ada di negera ibu pertiwi ini bisa dikenal oleh masyarakat luar. 

Kini saat sudah menginjak semester empat. Yoga diutus dari Falkutas sebagai salah satu calon untuk ikut berpartisipasi dalam debat Hukum International. Memang masih sekedar calon, karena akan diseleksi lima orang terbaik lagi untuk di ikut sertakan dalam ajang International yang di selenggarakan di Inggris. Mendapat kepercayaan dari universitas tempatnya bernaung serasa mimpi di siang bolong. Tapi ini nyata. Ini adalah mimpinya sedari dulu. Membawa nama Indonesia ke mata dunia atas kemampuan yang dimilikinya. Tapi, rasa takut dan pesimis selalu menghantui. Bukan hanya itu dia harus menyingkirkan 15 orang lain dari berbagai universitas di Indonesia. Untuk pada akhirnya bisa betul-betul mewakili nama Negara tempatnya berpijak.

“Bukannya itu dulu mimpi kamu? Sekarang kenapa jadi ragu begitu?” Tanya sang ibu saat Yoga menceritakan semuanya.

“Ada 20 orang bu, dan yang terpilih hanya lima orang saja. Mereka semua hebat-hebat”

“Dulu kamu sendiri yang bilang, kelak suatu hari nanti ingin membanggakan Negara kamu ini. Sekarang disaat kamu punya kesempatan untuk mewujudkannya malah langsung nyerah gitu. Bukannya dengan kamu pergi ke Inggris nanti, kamu malah bisa bertemu dengan Harrys juga kan? Kalian sudah tidak bertemu selama dua tahun belakangan ini loh” 

“Hehehe. Baru ingat kalau ada Harrys di Inggris. Sahabat macam apa aku sampai lupa sahabatku lagi di Inggris”

“Maka dari itu, selain nanti kamu bisa membawa nama baik Indonesia, kamu juga bisa sekaligus mengjenguk sahabatmu itu. Dan bisa kangen-kangenan” ibu menyarankan

Kali ini sepertinya rasa pesimis Yoga sedikit mereda. Dia yakin dengan semangat dan kemampuannya kelak bisa tercapai untuk mengharumkan nama bangsa Indonesia.

“Anak muda seperti kamu itu, adalah penerus untuk masa depan.  Makanya ditangan mudalah nasib bangsa ini dipertaruhkan. Kalau kamu sendiri tidak punya keyakinan dan semangat yang tinggi, kamu harus siap melihat bangsa ini sedikit demi sedikit akan mulai hancur” ibu menambahkan.

Yoga terdiam sejenak. Dia mulai sedikit meresapi apa yang dikatakan sang ibu. Dia sadar begitu banyak generasi pendahulu telah menghasilkan karya besar buat negeri ini.  Kemerdekaan yang sekarang diraih bukan pewarisan dari para penjajah, namun dihasilkan melalui tercucurnya keringat dan darah, semangat dan aktivitas, serta retorika dan diplomasi yang dilakukan oleh para pendahulu. Itulah yang mulai tertanam di benaknya. Mulai saat itulah Yoga giat belajar berlatih berbicara di depan cermin, dan sering-sering bertanya guna menambah wawasannya untuk debat nanti.  Setiap hari dilakukan tanpa adanya keluhan., lelah dan letih. 

Hal yang dinanti kini tiba. Kurang lebih sebulan Yoga mempersiapkan semuanya. Waktu itu masih terlalu pagi, tetapi dia sudah terburu-buru segera menuju kampus.

“kak Yoga tunggu aku” suara sang adik dari dalam rumah.

“pagi ini kamu naik angkot atau taksi saja ya. Aku harus segera tiba di kampus” teriak Yoga yang langsung menjalankan sepeda motornya.

      Masih terbilang pagi memang, belum ada sinar matahari yang begitu dahsyat. Hari itu Yoga akan mengikuti seleksi untuk ajang debata Hukum International nanti. Gugup, takut, dan gelisah tampak sudah mulai menghampiri Yoga. Tapi disisi lain Yoga percaya pada kemampuannya. Dia yakin dia bisa menjadi satu dari lima orang yang nantinya akan terpilih.

“kepada semua peserta debat diharapkan segera memasuki ruang auditorium sekarang juga” tampak salah satu panitia menyuruh.

“nanti kalian akan dibagi menjadi empat kelompok, jadi satu grup beranggotakan lima orang. Jadi saya harap kalian bisa memberikan kemampuan kalian yang terbaik. Keluarkan semua apa yang ingin anda katakana, dan satu hal jangan pernah merasa takut. Karena disini kita membutuhkan orang-orang yang besifat kritis. Mengerti?” lanjut panitia mengarahkan.

      Setelah pembagian kelompok selesai, Yoga ternyata mendapat grup pertama dimana dua orang temannya berasal dari universitas yang berbeda. Disini meraka dituntut habis-habisan intuk mengeluarkan pendapat mereka. Disinilah tampak sifat pemimpin dan tegas dari para mahasiswa/i yang mengambil jurusan hukum itu. Selama acara debat berlangsung, Yoga nampak begitu tegas menyampaikan gagasannya. Badan yang tegap dengan suara yang lantang menambah keyakinan untuk dapat memberikan yang terbaik. Kemampuannya dalam mengelolah kata-kata membuat acara debat itu semakin berkesan, aura wajahnya tidak bisa dibohongi, ia begitu yakin dan percaya diri dengan gagasan yang dikemukakannya.

“oke terima kasih kepada semua peserta atas partisipasinya. Kalian adalah generasi muda yang luar biasa. Kalian berani menunjukkan sikap kritis. Dan tim juri juga sudah menilai penampilan kalian semua, dan minggu depan akan diberitahukan hasilnya” penyampaian itu mengisyaratkan berakhirnya penyeleksian debat itu.

      Satu minggu membuatnya harus senam jantung setiap hari. Ini betul-betul mimpi tebesar dalam hidupnya membawa nama merah putih tercinta. Bukan haanya sekedar pembuktian, dia juga bertekad dengan cara ini dia akan kembali memupuk semangat teman-teman lain. Bahwa dengan suatu karya dan prestasi kita bisa mebuat Negara ini menjadi Negara yang tidak harus selalu bergantung dari Negara lain. Ya kepercayaan, kerja keras, dan sikap kritis itu membuahkan hasil. Di papan pengumuan dekat falkutas namanya tercantum di urutan ke-3 sebagai satu dari lima yang mewakili Indonesia ke Inggris nanti. Dua nama teratas dan yang dibawahnya berasal dari universitas yang berbeda. Bulu kuduknya merinding, wajahnya memancarkan aura kebahagiaan yang sejati, dan tatapan mata yang berkaca-kaca. Seakan mengisyaratkan kalau apa yang dicapai sekarang bukanlah mimpi.

      Rasa haru begitu terasa, ucapan selamat dari sahabat, dosen pembimbin, serta keluarga tercinta menjadi pembangkit semangat untuk menjadi lebih baik di ajang yang bertaraf International itu. Kali ini apa yang diimpikan bukan hanya angan-angan semata. Mimpinya tercapai, dia percaya dengan semangat dan kemampuan yang terus diasah apa yang dianggap tidak mungkin itu menjadi mungkin. Kini, dia mempersiapkan diri dan mengajak generasi muda lainnya untuk kreatif, mandiri, serta mempunyai konsep diri bangsa yang positif agar dapat menjadi pondasi yang kuat dalam pengembangan pribadi bangsa negeri. Hal yang paling bangga lainnya adalah lewat debat hukum International ini Yoga beserta teman lainnya mampu memperkenalkan bahasa Indonesia di mata dunia, karena setiap peserta bisa menggunakan bahasa tempat asal mereka. Rasa bangga dan terharu  tak bisa ditutup lagi, dengan cara ini dia bisa memgajak teman-teman lain untuk membangun negeri ini sebagai negeri yang mandiri, tak selalu bergantung dengan cara globalisasi.

Sabtu, 05 Juli 2014

Dibalik Layar (kisahku)


     Juni 2013 adalah bulan dimana saya benar-benar merasa jatuh dan terpuruk, benar-benar kehilangan harapan akan mengikuti LCC 4 Pilar mewakili sekolah. Siang dan malam yang saya habiskan untuk menghafal beberapa pasal dalam UUD 1945 terasa begitu menyakitkan bila diingat. Setiap subuh saya selalu dibanggunkan mama untuk menghafal, jadi bukan hanya saya, mama pun ikut bersusah bersama saya waktu itu. 

Tepatnya hari Sabtu saya selesai mengikuti seleksi LCC 4 Pilar tingkat sekolah, dan hasilnya akan diumumkan pada siang hari, namun pada hari itu kondisi fisik saya tidak memungkinkan untuk menunggu hasil seleksi. Saya memutuskan untuk pulang dan meminta tolong Nevada teman saya yang waktu itu masih berada di sekolah, untuk mengecek hasilnya. Dan ternyata saya gagal

Ya, kalian pasti tahu bagaimana rasanya gagal jika melihat usaha besar yang kalian lakukan. Saya tidak dapat menahan diri, air mata pun perlahan membanjiri wajah saya. Saya marah, saya kecewa, dan semua pikiran-pikiran buruk terlintas di otak saya, terlebih saya tidak mampu untuk mengatakan kepada mama dan papa bahwa saya gagal

Dua hari kemudian, disaat saya sudah mulai belajar ikhlas, saya dipanggil oleh ibu Purba untuk menghadap ke ruang guru. Disana ternyata ada Metty Rano, kami berdua disuruh duduk dan ditanya bagaimana persaaan kami. Saya pun jujur mengatakan kepada ibu, bahwa saya kecewa, dan saya masih berusaha menerima kenyataan dengan ikhlas. Hal yang tidak pernah saya pikirkan terjadi, saya disuruh untuk tes lagi, dan dari sekian banyak, hanya saya yang harus uji kemampuan lagi. Betapa hancur hati saya ketika saya tahu, lawan saya adalah kak Sahda, tentu saya merasa tidak enak, karena kak Sahda adalah teman seperjuangan saya yang pernah mengikuti LCC beberapa bulan lalu. Disatu sisi saya hancur, karena kenapa hanya saya yang harus diseleksi ulang? Dan sampai sekarang saya tidak tahu apa jawabannya. 

Pada saat itu, saya langsung memberi kabar ke orang tua saya. Mama dan Papa menyarankan, saya jangan lagi ikut seleksi ulang, karena mama dan papa tahu bagaimana kondisi saya saat awal menghadapi kenyataan saya gagal. Mama dan Papa tidak mau lagi saya jadi orang yang seakan tidak memiliki hari esok. Dan saya pun, berpikir demikian. Waktu yang dikasih untuk belajar, tidak saya pergunakan, karena saya sudah memiliki firasat bahwa ini bukan rejeki saya. Luka yang masih basa itu kini semakin besar, alhasil saya tidak dapat menahan air mata saya di depan kepala sekolah, ibu Marsya, dan ibu Purba. Saya menangis sejadi-jadinya. Teman-teman XB pun jadi saksi bagaimana ketika saya gagal saat itu, saya masih ingat jelas, ketika keluar dari ruang kepsek saya masuk di kelas, dan kembali menangis, satu persatu dari mereka mulai menghampiri saya dan berkata “sabar ya Je” dan sebagainya. 

Karena pemikiran saya yang masih kacau, keesokan harinya saya langsung mengembalikan buku-buku yang sempat di berikan ibu Marsya kepada saya tanpa sisa. Dan saya bertekad saat itu, saya tidak mau lagi bersentuhan dengan UUD 1945 dan kawannya. Namun saat itu, saya mendapat rejeki, saya ditawari untuk mengikuti PIRNAS yang diadakan di Boyolali bersama kak Lukman, Neva, Aldy, dan Olla. Tentunya kegiatan ini sedikit menghilangkan rasa sakit hati saya, karena saya bisa menikmati liburan sambil belajar bersama kakak dan teman-teman saya.  Mereka sudah menghapus rasa sakit hati itu dengan perjalanan yang menyenangkan.

Satu minggu sebelum hari raya lebaran tahun 2013, saya di panggil bunda ke ruang guru, saya disuruh mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi Parade Cinta Tanah Air 2013 tingkat Provinsi Papua Barat. Tentu, seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya tentang komitmen saya, saya menolak tawaran itu, tetapi secara tidak langsung. Tiga hari sebelum liburan sekolah saya kabur ke Malang, Jawa Timur dengan alasan sakit. Tidak ada satu orang pun yang  tahu saya ke Malang kecuali keluarga. Teman-teman di sekolah berpikir saya benar-benar sakit. Sudah 4 hari di Malang baru saya mengabari beberapa teman. Ada yang bertanya “kenapa berangkat Je? kemarin bunda cari”, saya hanya mengatakan sejujurnya, saya tidak tertarik untuk mengikuti itu.

Mungkin sikap saya dinilai tidak dewasa, tapi itulah saya ketika sakit hati dan kecewa dengan hasil dari kerja keras saya. “Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan”, hal ini terjadi pada saya, ketika saya balik ke Sorong ternyata seleksi PCTA tingkat Provinsi belum diselenggarakan. Saya dipanggil lagi sama bunda, dan saat itu bunda bilang “Jel, bunda tahu Jel bisa. Bunda bisa lihat kemampuanmu, percaya bunda”, kata-kata sederhana itu yang kemudian memancing saya untuk mencoba, walaupun rasa takut gagal itu masih jadi mimpi buruk yang selalu menghantui saya. 

Saya mendapat bagian untuk mengikuti seleksi PCTA 2013 dengan jenis lomba Diskusi Uji Argumen. Olla dan Julia menjadi patner saya. Selama satu Minggu kami mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi PCTA yang diadakan di gedung radio RRI. Satiap hari kami disuap dengan materi-materi tentang cinta akan tanah air. Belajar sore di rumah bunda menjadi rutinitas kami, dan tibalah hari itu. 

Saat Latihan di Rumah Bunda

Melihat Sakti, Juan, Luisa, dan beberapa siswa yang terkenal berprestasi di kota tempat saya menuntut ilmu, tentu membuat saya kecil hati.  Ketika mengambil undian saya, Julia, dan Hogla mendapat kesempatan ke-4 untuk maju, dan puji Tuhan, kami ber-3 lolos ke babak semifinal, dan satu grup lagi dari sekolah saya yang terdiri dari Tristan, Neva, dan Luthfi juga berhasil lolos ke babak semi final. Deg degan bukan main ketika kami harus melawan tim dari sekolah kami sendiri. Dan hasil dari kerja keras saya untuk membunuh trauma saya dengan UUD 1945, menghapus rasa sakit hati saya, menghapus rasa kecewa saya pun terbayar. Saya, Olla, dan Julia berhasil menjuarai PCTA 2013 tingkat Provinsi Papua Barat dan mewakili provinsi Papua Barat di Jakarta. 


Saat Seleksi Di RRI (grup B kami)

Ini kali pertama saya ke Jakarta bersama teman-teman, saya sudah pernah sekali, tetapi bersama keluarga. Saya, Olla, Julia kini mendapat teman baru, Nurbia, yang akan berangkat bersama kami. Kami ber-4 dengan modal berani menuju Jakarta. Di Bandara Soekarno Hatta kemi ber-4 sudah ditunggu bunda dan kepsek yang sudah deluan ke Jakarta. Ternyata kami menjadi kontingen terakhir yang sampai.

Seperti biasa, sikap kami masih tetap anak Papua, berbicara cepat dangan intonasi suara yang keras memenuhi bus yang membawa kami ke Desa Wisata TMI. Sepanjang perjalanan kami ber-3 (Saya, Julia, dan Olla) saling bercerita banyak dan bertukar pikiran tentang strategi untuk lomba nanti. Sudah jauh-jauh dari Papua, kami dapat kamar yang jauh pula.  Oh ia, saya masih ingat ketika ada salah satu peserta dari daerah lain yang mengatakan “ayo kita lihat gaya anak Papua”, ketika kami lewat di depan mereka. Malam itu, kami ber-4 tidak tidur, kami menelusuri setiap sudut Desa Wisata TMI, tetapi sambil belajar. Kaki kami tidak bisa belajar sambil diam di tempat, harus keliling. Malam itu pun kami lewati sambil sekalian menunggu t'Ellen dan pa Joni yang dalam perjalanan menuju TMI untuk mengantar kuas. Selain mengantar kuas kami juga mendapat salam tempel, tahukan. 

Bandara DEO Sorong

 Bandara Sultan Hasanudin
 
Pengalaman yang tak terlupakan bagi saya, ketika harus menggunakan busana adat Papua lengkap di Kementrin Pertahanan Republik Indonesia. Tentu itu pertama kali, Julia menjadi juru lukis kami pada saat itu. Jam 5 sudah menuju ke Kemenham dan kami harus melukis tubuh di perjalanan, betapa ribetnya. Ketika menginjakkan kaki di kemenham saya merasa senang, karena akhirnya kaki ini bisa menginjak tempata ini. Kegiatan kami waktu itu awalnya pelantikan Alumni PCTA 2013, dan dilanjutkan dengan ramatama bersama bapak Purnomo Yusgiantoro. Dalam acara ramatama kami seluruh peserta diajak bermain angklung bersama kakak-kakak dari sanggar angklung Udjo. Dan kini angklung-angklung itu telah tersebar di seluruh Indonesia. Da hal unik saat itu, saya, Olla, dan Julia hanya menggunakan sandal jepit. Bahkan punya Hogla warna warni mencolok hhahahahaha. 
 Saat Mengenakan Pakaian Adat Papua

Kontingen Papua Barat

Pada babak penyisihan awal kami mendapat nomor terakhir, dan itu kami gunakan untuk memperhatikan dengan saksama bagaimana jalannya lomba tersebut. Puji Tuhan kami berhasil melangkah ke babak selanjutnya denga urutan ke-11 atau ke-14 dari 15 Provinsi yang lolos.  Tentunya kami tidak bisa meremehkan teman-teman dari provinsi lain, mereka punya kemampuan yang luar biasa. Kami sempat berkecil hati ketika pengumuman 3 tim yang lolos ke babak final. Pada saat pengumaman kami berpikir kami tidak lolos, dan saat itu kami sedang asyik dengan laptop bunda. Tetapi terulang kembali “Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan”. Kami berhasil lolos ke final. Di final kami bertemu teman-teman dari Bali yang salah satunya sempat menjadi rekan duet bersama Julia saat makan siang, dan teman-teman dari Sumatra Utara. Gugup tentu menjadi santapan kami, tetapi Tuhan ternyata memberi kami kekuatan yang luar biasa, kami menjadi percaya diri, dan bertekad kami menang. 
 Final PCTA 2013

Saat lomba saya mengutarakan argument saya dengan menatap bunda, karena dengan seperti itu saya merasa memiliki keberanian. Soal terakhir sempat membuyarkan konsentrasi kami, yaitu berpidato sebagai Pemilih Pemula, dan saya ditunjuk sebagai wakil dari Prov. Papua Barat. Mengalir seperti air apa yang saya ucapkan, berusaha untuk mengajak orang-orang setuju dengan apa yang saya sampaikan. Tentu tidak mudah, tapi bunda yang telah menjadi terang, dengan tetap tersenyum dari kejauhan. 

Tuhan saat itu memang menepati janji-Nya. Tuhan membuat segala yang kelihatan mustahil dan tak mungkin menjadi nyata, kami, saya, Olla, dan Julia berhasil menjadi juara I dalam ajang Diskusi Uji Argumen PCTA 2013. 

 

 

 
 

"Ku percaya kau Tuhan yang tak pernah gagal
Menjadikan ku lebih dari pemenang
Ku percaya kau Tuhan yang tak pernah lalai
Menempati janji-janjiMu"

Tuhan tahu apa yang terbaik untuk anak-anak-Nya. Percaya gagal adalah langkah awal menjemput sejuta senyuman.