Sabtu, 05 Juli 2014

Dibalik Layar (kisahku)


     Juni 2013 adalah bulan dimana saya benar-benar merasa jatuh dan terpuruk, benar-benar kehilangan harapan akan mengikuti LCC 4 Pilar mewakili sekolah. Siang dan malam yang saya habiskan untuk menghafal beberapa pasal dalam UUD 1945 terasa begitu menyakitkan bila diingat. Setiap subuh saya selalu dibanggunkan mama untuk menghafal, jadi bukan hanya saya, mama pun ikut bersusah bersama saya waktu itu. 

Tepatnya hari Sabtu saya selesai mengikuti seleksi LCC 4 Pilar tingkat sekolah, dan hasilnya akan diumumkan pada siang hari, namun pada hari itu kondisi fisik saya tidak memungkinkan untuk menunggu hasil seleksi. Saya memutuskan untuk pulang dan meminta tolong Nevada teman saya yang waktu itu masih berada di sekolah, untuk mengecek hasilnya. Dan ternyata saya gagal

Ya, kalian pasti tahu bagaimana rasanya gagal jika melihat usaha besar yang kalian lakukan. Saya tidak dapat menahan diri, air mata pun perlahan membanjiri wajah saya. Saya marah, saya kecewa, dan semua pikiran-pikiran buruk terlintas di otak saya, terlebih saya tidak mampu untuk mengatakan kepada mama dan papa bahwa saya gagal

Dua hari kemudian, disaat saya sudah mulai belajar ikhlas, saya dipanggil oleh ibu Purba untuk menghadap ke ruang guru. Disana ternyata ada Metty Rano, kami berdua disuruh duduk dan ditanya bagaimana persaaan kami. Saya pun jujur mengatakan kepada ibu, bahwa saya kecewa, dan saya masih berusaha menerima kenyataan dengan ikhlas. Hal yang tidak pernah saya pikirkan terjadi, saya disuruh untuk tes lagi, dan dari sekian banyak, hanya saya yang harus uji kemampuan lagi. Betapa hancur hati saya ketika saya tahu, lawan saya adalah kak Sahda, tentu saya merasa tidak enak, karena kak Sahda adalah teman seperjuangan saya yang pernah mengikuti LCC beberapa bulan lalu. Disatu sisi saya hancur, karena kenapa hanya saya yang harus diseleksi ulang? Dan sampai sekarang saya tidak tahu apa jawabannya. 

Pada saat itu, saya langsung memberi kabar ke orang tua saya. Mama dan Papa menyarankan, saya jangan lagi ikut seleksi ulang, karena mama dan papa tahu bagaimana kondisi saya saat awal menghadapi kenyataan saya gagal. Mama dan Papa tidak mau lagi saya jadi orang yang seakan tidak memiliki hari esok. Dan saya pun, berpikir demikian. Waktu yang dikasih untuk belajar, tidak saya pergunakan, karena saya sudah memiliki firasat bahwa ini bukan rejeki saya. Luka yang masih basa itu kini semakin besar, alhasil saya tidak dapat menahan air mata saya di depan kepala sekolah, ibu Marsya, dan ibu Purba. Saya menangis sejadi-jadinya. Teman-teman XB pun jadi saksi bagaimana ketika saya gagal saat itu, saya masih ingat jelas, ketika keluar dari ruang kepsek saya masuk di kelas, dan kembali menangis, satu persatu dari mereka mulai menghampiri saya dan berkata “sabar ya Je” dan sebagainya. 

Karena pemikiran saya yang masih kacau, keesokan harinya saya langsung mengembalikan buku-buku yang sempat di berikan ibu Marsya kepada saya tanpa sisa. Dan saya bertekad saat itu, saya tidak mau lagi bersentuhan dengan UUD 1945 dan kawannya. Namun saat itu, saya mendapat rejeki, saya ditawari untuk mengikuti PIRNAS yang diadakan di Boyolali bersama kak Lukman, Neva, Aldy, dan Olla. Tentunya kegiatan ini sedikit menghilangkan rasa sakit hati saya, karena saya bisa menikmati liburan sambil belajar bersama kakak dan teman-teman saya.  Mereka sudah menghapus rasa sakit hati itu dengan perjalanan yang menyenangkan.

Satu minggu sebelum hari raya lebaran tahun 2013, saya di panggil bunda ke ruang guru, saya disuruh mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi Parade Cinta Tanah Air 2013 tingkat Provinsi Papua Barat. Tentu, seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya tentang komitmen saya, saya menolak tawaran itu, tetapi secara tidak langsung. Tiga hari sebelum liburan sekolah saya kabur ke Malang, Jawa Timur dengan alasan sakit. Tidak ada satu orang pun yang  tahu saya ke Malang kecuali keluarga. Teman-teman di sekolah berpikir saya benar-benar sakit. Sudah 4 hari di Malang baru saya mengabari beberapa teman. Ada yang bertanya “kenapa berangkat Je? kemarin bunda cari”, saya hanya mengatakan sejujurnya, saya tidak tertarik untuk mengikuti itu.

Mungkin sikap saya dinilai tidak dewasa, tapi itulah saya ketika sakit hati dan kecewa dengan hasil dari kerja keras saya. “Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan”, hal ini terjadi pada saya, ketika saya balik ke Sorong ternyata seleksi PCTA tingkat Provinsi belum diselenggarakan. Saya dipanggil lagi sama bunda, dan saat itu bunda bilang “Jel, bunda tahu Jel bisa. Bunda bisa lihat kemampuanmu, percaya bunda”, kata-kata sederhana itu yang kemudian memancing saya untuk mencoba, walaupun rasa takut gagal itu masih jadi mimpi buruk yang selalu menghantui saya. 

Saya mendapat bagian untuk mengikuti seleksi PCTA 2013 dengan jenis lomba Diskusi Uji Argumen. Olla dan Julia menjadi patner saya. Selama satu Minggu kami mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi PCTA yang diadakan di gedung radio RRI. Satiap hari kami disuap dengan materi-materi tentang cinta akan tanah air. Belajar sore di rumah bunda menjadi rutinitas kami, dan tibalah hari itu. 

Saat Latihan di Rumah Bunda

Melihat Sakti, Juan, Luisa, dan beberapa siswa yang terkenal berprestasi di kota tempat saya menuntut ilmu, tentu membuat saya kecil hati.  Ketika mengambil undian saya, Julia, dan Hogla mendapat kesempatan ke-4 untuk maju, dan puji Tuhan, kami ber-3 lolos ke babak semifinal, dan satu grup lagi dari sekolah saya yang terdiri dari Tristan, Neva, dan Luthfi juga berhasil lolos ke babak semi final. Deg degan bukan main ketika kami harus melawan tim dari sekolah kami sendiri. Dan hasil dari kerja keras saya untuk membunuh trauma saya dengan UUD 1945, menghapus rasa sakit hati saya, menghapus rasa kecewa saya pun terbayar. Saya, Olla, dan Julia berhasil menjuarai PCTA 2013 tingkat Provinsi Papua Barat dan mewakili provinsi Papua Barat di Jakarta. 


Saat Seleksi Di RRI (grup B kami)

Ini kali pertama saya ke Jakarta bersama teman-teman, saya sudah pernah sekali, tetapi bersama keluarga. Saya, Olla, Julia kini mendapat teman baru, Nurbia, yang akan berangkat bersama kami. Kami ber-4 dengan modal berani menuju Jakarta. Di Bandara Soekarno Hatta kemi ber-4 sudah ditunggu bunda dan kepsek yang sudah deluan ke Jakarta. Ternyata kami menjadi kontingen terakhir yang sampai.

Seperti biasa, sikap kami masih tetap anak Papua, berbicara cepat dangan intonasi suara yang keras memenuhi bus yang membawa kami ke Desa Wisata TMI. Sepanjang perjalanan kami ber-3 (Saya, Julia, dan Olla) saling bercerita banyak dan bertukar pikiran tentang strategi untuk lomba nanti. Sudah jauh-jauh dari Papua, kami dapat kamar yang jauh pula.  Oh ia, saya masih ingat ketika ada salah satu peserta dari daerah lain yang mengatakan “ayo kita lihat gaya anak Papua”, ketika kami lewat di depan mereka. Malam itu, kami ber-4 tidak tidur, kami menelusuri setiap sudut Desa Wisata TMI, tetapi sambil belajar. Kaki kami tidak bisa belajar sambil diam di tempat, harus keliling. Malam itu pun kami lewati sambil sekalian menunggu t'Ellen dan pa Joni yang dalam perjalanan menuju TMI untuk mengantar kuas. Selain mengantar kuas kami juga mendapat salam tempel, tahukan. 

Bandara DEO Sorong

 Bandara Sultan Hasanudin
 
Pengalaman yang tak terlupakan bagi saya, ketika harus menggunakan busana adat Papua lengkap di Kementrin Pertahanan Republik Indonesia. Tentu itu pertama kali, Julia menjadi juru lukis kami pada saat itu. Jam 5 sudah menuju ke Kemenham dan kami harus melukis tubuh di perjalanan, betapa ribetnya. Ketika menginjakkan kaki di kemenham saya merasa senang, karena akhirnya kaki ini bisa menginjak tempata ini. Kegiatan kami waktu itu awalnya pelantikan Alumni PCTA 2013, dan dilanjutkan dengan ramatama bersama bapak Purnomo Yusgiantoro. Dalam acara ramatama kami seluruh peserta diajak bermain angklung bersama kakak-kakak dari sanggar angklung Udjo. Dan kini angklung-angklung itu telah tersebar di seluruh Indonesia. Da hal unik saat itu, saya, Olla, dan Julia hanya menggunakan sandal jepit. Bahkan punya Hogla warna warni mencolok hhahahahaha. 
 Saat Mengenakan Pakaian Adat Papua

Kontingen Papua Barat

Pada babak penyisihan awal kami mendapat nomor terakhir, dan itu kami gunakan untuk memperhatikan dengan saksama bagaimana jalannya lomba tersebut. Puji Tuhan kami berhasil melangkah ke babak selanjutnya denga urutan ke-11 atau ke-14 dari 15 Provinsi yang lolos.  Tentunya kami tidak bisa meremehkan teman-teman dari provinsi lain, mereka punya kemampuan yang luar biasa. Kami sempat berkecil hati ketika pengumuman 3 tim yang lolos ke babak final. Pada saat pengumaman kami berpikir kami tidak lolos, dan saat itu kami sedang asyik dengan laptop bunda. Tetapi terulang kembali “Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan”. Kami berhasil lolos ke final. Di final kami bertemu teman-teman dari Bali yang salah satunya sempat menjadi rekan duet bersama Julia saat makan siang, dan teman-teman dari Sumatra Utara. Gugup tentu menjadi santapan kami, tetapi Tuhan ternyata memberi kami kekuatan yang luar biasa, kami menjadi percaya diri, dan bertekad kami menang. 
 Final PCTA 2013

Saat lomba saya mengutarakan argument saya dengan menatap bunda, karena dengan seperti itu saya merasa memiliki keberanian. Soal terakhir sempat membuyarkan konsentrasi kami, yaitu berpidato sebagai Pemilih Pemula, dan saya ditunjuk sebagai wakil dari Prov. Papua Barat. Mengalir seperti air apa yang saya ucapkan, berusaha untuk mengajak orang-orang setuju dengan apa yang saya sampaikan. Tentu tidak mudah, tapi bunda yang telah menjadi terang, dengan tetap tersenyum dari kejauhan. 

Tuhan saat itu memang menepati janji-Nya. Tuhan membuat segala yang kelihatan mustahil dan tak mungkin menjadi nyata, kami, saya, Olla, dan Julia berhasil menjadi juara I dalam ajang Diskusi Uji Argumen PCTA 2013. 

 

 

 
 

"Ku percaya kau Tuhan yang tak pernah gagal
Menjadikan ku lebih dari pemenang
Ku percaya kau Tuhan yang tak pernah lalai
Menempati janji-janjiMu"

Tuhan tahu apa yang terbaik untuk anak-anak-Nya. Percaya gagal adalah langkah awal menjemput sejuta senyuman.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar