Juni
2013 adalah bulan dimana saya benar-benar merasa jatuh dan terpuruk,
benar-benar kehilangan harapan akan mengikuti LCC 4 Pilar mewakili sekolah.
Siang dan malam yang saya habiskan untuk menghafal beberapa pasal dalam UUD
1945 terasa begitu menyakitkan bila diingat. Setiap subuh saya selalu
dibanggunkan mama untuk menghafal, jadi bukan hanya saya, mama pun ikut
bersusah bersama saya waktu itu.
Tepatnya
hari Sabtu saya selesai mengikuti seleksi LCC 4 Pilar tingkat sekolah, dan
hasilnya akan diumumkan pada siang hari, namun pada hari itu kondisi fisik saya
tidak memungkinkan untuk menunggu hasil seleksi. Saya memutuskan untuk pulang
dan meminta tolong Nevada teman saya yang waktu itu masih berada di sekolah,
untuk mengecek hasilnya. Dan ternyata saya gagal.
Ya,
kalian pasti tahu bagaimana rasanya gagal
jika melihat usaha besar yang kalian lakukan. Saya tidak dapat menahan diri,
air mata pun perlahan membanjiri wajah saya. Saya marah, saya kecewa, dan semua
pikiran-pikiran buruk terlintas di otak saya, terlebih saya tidak mampu untuk
mengatakan kepada mama dan papa bahwa saya gagal.
Dua
hari kemudian, disaat saya sudah mulai belajar ikhlas, saya dipanggil oleh ibu
Purba untuk menghadap ke ruang guru. Disana ternyata ada Metty Rano, kami
berdua disuruh duduk dan ditanya bagaimana persaaan kami. Saya pun jujur
mengatakan kepada ibu, bahwa saya kecewa, dan saya masih berusaha menerima
kenyataan dengan ikhlas. Hal yang tidak pernah saya pikirkan terjadi, saya
disuruh untuk tes lagi, dan dari sekian banyak, hanya saya yang harus uji
kemampuan lagi. Betapa hancur hati saya ketika saya tahu, lawan saya adalah kak
Sahda, tentu saya merasa tidak enak, karena kak Sahda adalah teman seperjuangan
saya yang pernah mengikuti LCC beberapa bulan lalu. Disatu sisi saya hancur,
karena kenapa hanya saya yang harus
diseleksi ulang? Dan sampai sekarang saya tidak tahu apa jawabannya.
Pada
saat itu, saya langsung memberi kabar ke orang tua saya. Mama dan Papa
menyarankan, saya jangan lagi ikut seleksi ulang, karena mama dan papa tahu
bagaimana kondisi saya saat awal menghadapi kenyataan saya gagal. Mama dan Papa
tidak mau lagi saya jadi orang yang seakan tidak memiliki hari esok. Dan saya
pun, berpikir demikian. Waktu yang dikasih untuk belajar, tidak saya
pergunakan, karena saya sudah memiliki firasat bahwa ini bukan rejeki saya.
Luka yang masih basa itu kini semakin besar, alhasil saya tidak dapat menahan
air mata saya di depan kepala sekolah, ibu Marsya, dan ibu Purba. Saya menangis
sejadi-jadinya. Teman-teman XB pun jadi saksi bagaimana ketika saya gagal saat
itu, saya masih ingat jelas, ketika keluar dari ruang kepsek saya masuk di
kelas, dan kembali menangis, satu persatu dari mereka mulai menghampiri saya
dan berkata “sabar ya Je” dan sebagainya.
Karena
pemikiran saya yang masih kacau, keesokan harinya saya langsung mengembalikan
buku-buku yang sempat di berikan ibu Marsya kepada saya tanpa sisa. Dan saya
bertekad saat itu, saya tidak mau lagi bersentuhan dengan UUD 1945 dan
kawannya. Namun saat itu, saya mendapat rejeki, saya ditawari untuk mengikuti
PIRNAS yang diadakan di Boyolali bersama kak Lukman, Neva, Aldy, dan Olla.
Tentunya kegiatan ini sedikit menghilangkan rasa sakit hati saya, karena saya
bisa menikmati liburan sambil belajar bersama kakak dan teman-teman saya. Mereka sudah menghapus rasa sakit hati itu
dengan perjalanan yang menyenangkan.
Satu
minggu sebelum hari raya lebaran tahun 2013, saya di panggil bunda ke ruang
guru, saya disuruh mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi Parade Cinta
Tanah Air 2013 tingkat Provinsi Papua Barat. Tentu, seperti yang sudah saya
ceritakan sebelumnya tentang komitmen saya, saya menolak tawaran itu, tetapi
secara tidak langsung. Tiga hari sebelum liburan sekolah saya kabur ke Malang,
Jawa Timur dengan alasan sakit. Tidak ada satu orang pun yang tahu saya ke Malang kecuali keluarga.
Teman-teman di sekolah berpikir saya benar-benar sakit. Sudah 4 hari di Malang baru
saya mengabari beberapa teman. Ada yang bertanya “kenapa berangkat Je? kemarin
bunda cari”, saya hanya mengatakan sejujurnya, saya tidak tertarik untuk
mengikuti itu.
Mungkin
sikap saya dinilai tidak dewasa, tapi itulah saya ketika sakit hati dan kecewa
dengan hasil dari kerja keras saya. “Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang
menentukan”, hal ini terjadi pada saya, ketika saya balik ke Sorong ternyata
seleksi PCTA tingkat Provinsi belum diselenggarakan. Saya dipanggil lagi sama
bunda, dan saat itu bunda bilang “Jel, bunda tahu Jel bisa. Bunda bisa lihat
kemampuanmu, percaya bunda”, kata-kata sederhana itu yang kemudian memancing
saya untuk mencoba, walaupun rasa takut gagal itu masih jadi mimpi buruk yang
selalu menghantui saya.
Saya
mendapat bagian untuk mengikuti seleksi PCTA 2013 dengan jenis lomba Diskusi
Uji Argumen. Olla dan Julia menjadi patner saya. Selama satu Minggu kami
mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi PCTA yang diadakan di gedung radio
RRI. Satiap hari kami disuap dengan materi-materi tentang cinta akan tanah air.
Belajar sore di rumah bunda menjadi rutinitas kami, dan tibalah hari itu.
Saat Latihan di Rumah Bunda
Melihat
Sakti, Juan, Luisa, dan beberapa siswa yang terkenal berprestasi di kota tempat
saya menuntut ilmu, tentu membuat saya kecil hati. Ketika mengambil undian saya, Julia, dan
Hogla mendapat kesempatan ke-4 untuk maju, dan puji Tuhan, kami ber-3 lolos ke
babak semifinal, dan satu grup lagi dari sekolah saya yang terdiri dari
Tristan, Neva, dan Luthfi juga berhasil lolos ke babak semi final. Deg degan
bukan main ketika kami harus melawan tim dari sekolah kami sendiri. Dan hasil
dari kerja keras saya untuk membunuh trauma saya dengan UUD 1945, menghapus
rasa sakit hati saya, menghapus rasa kecewa saya pun terbayar. Saya, Olla, dan
Julia berhasil menjuarai PCTA 2013 tingkat Provinsi Papua Barat dan mewakili
provinsi Papua Barat di Jakarta.
Saat Seleksi Di RRI (grup B kami)
Ini
kali pertama saya ke Jakarta bersama teman-teman, saya sudah pernah sekali,
tetapi bersama keluarga. Saya, Olla, Julia kini mendapat teman baru, Nurbia,
yang akan berangkat bersama kami. Kami ber-4 dengan modal berani menuju
Jakarta. Di Bandara Soekarno Hatta kemi ber-4 sudah ditunggu bunda dan kepsek
yang sudah deluan ke Jakarta. Ternyata kami menjadi kontingen terakhir yang
sampai.
Seperti
biasa, sikap kami masih tetap anak Papua, berbicara cepat dangan intonasi suara
yang keras memenuhi bus yang membawa kami ke Desa Wisata TMI. Sepanjang
perjalanan kami ber-3 (Saya, Julia, dan Olla) saling bercerita banyak dan
bertukar pikiran tentang strategi untuk lomba nanti. Sudah jauh-jauh dari
Papua, kami dapat kamar yang jauh pula.
Oh ia, saya masih ingat ketika ada salah satu peserta dari daerah lain
yang mengatakan “ayo kita lihat gaya anak Papua”, ketika kami lewat di depan
mereka. Malam itu, kami ber-4 tidak tidur, kami menelusuri setiap sudut Desa
Wisata TMI, tetapi sambil belajar. Kaki kami tidak bisa belajar sambil diam di
tempat, harus keliling. Malam itu pun kami lewati sambil sekalian menunggu t'Ellen dan pa Joni yang dalam perjalanan menuju TMI untuk mengantar kuas. Selain mengantar kuas kami juga mendapat salam tempel, tahukan.
Bandara DEO Sorong
Bandara Sultan Hasanudin
Pengalaman
yang tak terlupakan bagi saya, ketika harus menggunakan busana adat Papua
lengkap di Kementrin Pertahanan Republik Indonesia. Tentu itu pertama kali,
Julia menjadi juru lukis kami pada saat itu. Jam 5 sudah menuju ke Kemenham dan
kami harus melukis tubuh di perjalanan, betapa ribetnya. Ketika menginjakkan
kaki di kemenham saya merasa senang, karena akhirnya kaki ini bisa menginjak
tempata ini. Kegiatan kami waktu itu awalnya pelantikan Alumni PCTA 2013, dan
dilanjutkan dengan ramatama bersama bapak Purnomo Yusgiantoro. Dalam acara
ramatama kami seluruh peserta diajak bermain angklung bersama kakak-kakak dari
sanggar angklung Udjo. Dan kini angklung-angklung itu telah tersebar di seluruh
Indonesia. Da hal unik saat itu, saya, Olla, dan Julia hanya menggunakan sandal
jepit. Bahkan punya Hogla warna warni mencolok hhahahahaha.
Saat Mengenakan Pakaian Adat Papua
Kontingen Papua Barat
Pada
babak penyisihan awal kami mendapat nomor terakhir, dan itu kami gunakan untuk
memperhatikan dengan saksama bagaimana jalannya lomba tersebut. Puji Tuhan kami
berhasil melangkah ke babak selanjutnya denga urutan ke-11 atau ke-14 dari 15
Provinsi yang lolos. Tentunya kami tidak
bisa meremehkan teman-teman dari provinsi lain, mereka punya kemampuan yang
luar biasa. Kami sempat berkecil hati ketika pengumuman 3 tim yang lolos ke
babak final. Pada saat pengumaman kami berpikir kami tidak lolos, dan saat itu
kami sedang asyik dengan laptop bunda. Tetapi terulang kembali “Manusia boleh
berencana, tetapi Tuhan yang menentukan”. Kami berhasil lolos ke final. Di
final kami bertemu teman-teman dari Bali yang salah satunya sempat menjadi
rekan duet bersama Julia saat makan siang, dan teman-teman dari Sumatra Utara.
Gugup tentu menjadi santapan kami, tetapi Tuhan ternyata memberi kami kekuatan
yang luar biasa, kami menjadi percaya diri, dan bertekad kami menang.
Final PCTA 2013
Saat
lomba saya mengutarakan argument saya dengan menatap bunda, karena dengan
seperti itu saya merasa memiliki keberanian. Soal terakhir sempat membuyarkan
konsentrasi kami, yaitu berpidato sebagai Pemilih Pemula, dan saya ditunjuk
sebagai wakil dari Prov. Papua Barat. Mengalir seperti air apa yang saya
ucapkan, berusaha untuk mengajak orang-orang setuju dengan apa yang saya
sampaikan. Tentu tidak mudah, tapi bunda yang telah menjadi terang, dengan
tetap tersenyum dari kejauhan.
Tuhan
saat itu memang menepati janji-Nya. Tuhan membuat segala yang kelihatan
mustahil dan tak mungkin menjadi nyata, kami, saya, Olla, dan Julia berhasil
menjadi juara I dalam ajang Diskusi Uji Argumen PCTA 2013.
"Ku percaya kau Tuhan yang tak pernah gagal
Menjadikan ku lebih dari pemenang
Ku percaya kau Tuhan yang tak pernah lalai
Menempati janji-janjiMu"
Tuhan tahu apa yang terbaik untuk anak-anak-Nya. Percaya
gagal adalah langkah awal menjemput sejuta senyuman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar