Malam begitu
gelap. Tak ada pancaran sinar matahari menyinari bumi lagi, tapi jangan
khawatir itu hanya terjadi malam hari saja. Bintang-bintang di langit sudah
cukup membantu menerangi bumi ditambah cahaya lampu di tiap perempatan jalan
ibu kota.
Jalanan cukup
sepi, mungkin karena sudah larut malam. Tidak terlalu banyak hiruk pikuk suara
kendaraan yang mengganggu. Hanya ada beberapa pejalan kaki saja. Langkah Yoga
begitu pelan, entah apa yang ada di benaknya sekarang. Terus berjalan menyusuri
jalanan ibu kota tanpa ada arah tujuan sedari tadi. Hanya ditemani alunan musik
favoritnya saja.
“Yoga, Yoga,
tunggu!” suara dari belakang tampak memanggil. Yoga tak menoleh sedikit pun.
Mungkin pengaruh earphone yang dipakainya. “Yoga, Yoga, tunggu!” suara itu
kembali terulang namun lebih keras lagi.
Kali ini Yoga akhirnya menoleh. Melihat dari kejauhan sosok yang
memanggilnya. Kulit sawo matang, tinggi, dan terlihat manis menggunakan kaos
oblong, itu ternyata teman sewaktu di SMA namanya Harrys.
“Hey Rys, kenapa?”
“Mau kemana? Dari tadi siang ibumu
menelfon, dikiranya kamu main ke rumah.” Kata Harrys dengan menunjukkan
kecemasan.
“Oh, iya aku tadi bilang ke ibu aku
ke rumahmu, tapi itu Cuma akal-akalan saja biar ibu tidak cemas.” Yoga menjawab
dengan santai.
Tak ada respon
rasa bersalah yang ditunjukkan Yoga, ia malah terus berjalan melangkahkan
kakinya entah kemana tak ada tujuan sama sekali. Harrys hanya terus mengikuti
meski geram karena sikap sahabatnya itu.
“Rys, kamu mau
lanjut dimana?” pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut Yoga. “Minggu
depan, aku baru mau ikut tes. Mau lanjut di luar saja. Maunya di Inggris,
Oxford. Selasa nanti sudah tes mau ambil hukum. Minggu depannya lagi ada tes
lagi dengan jurusan yang sama sih, cuman di salah satu universitas di Singapore.
Sebenarnya niat ambil jurusan Hubungan Internasioanal juga tapi masih ragu.”
Harrys Nampak semangat menjelaskan rencana perkuliahannya. “Kamu, rencananya
dimana? Tidak niat lanjut di luar juga?” Tanya Harrys balik. Lagi, Yoga tak
berguman dan tak mengeluarkan sepatah kata atas pertanyaan sahabatnya itu.
Entalah apa yang ada di benaknya sekarang. Sungguh tak bisa ditebak.
Kini mereka
sudah berjalan terlalu jauh, sangat jauh. Semenjak percakapan tadi, tak ada
percakapan yang begitu berarti lagi. Hanya selingan saja yang benar-benar tak
punya nillai.
“Kenapa pilih kuliah di luar, Rys?
Di Indonesia juga banyak universitas yang bagus kan. Lagian lulusan di sini
juga banyak yang hidup mereka terjamin dan akhirnya diperkerjakan di perusahaan
besar juga.” Sahut Yoga yang baru merespon. Aneh memang.
“Mereka memang
menuntut ilmu disini, tapi pada akhirnya mereka juga bekerja di perusahaan
besar di luar?” Harrys menatap tajam Yoga. Tak ada respon lagi. Tiba-tiba suara
nada dering yang cukup lantang terdengar begitu dahsyat. Rupanya bunyi itu
berasal dari telepon genggam milik Yoga. Kali ini Yoga harus mengakhiri
percakapannya dengan Harrys. Karena sang ibu sudah terlalu cemas dan
menyuruhnya segera balik ke rumah.
“Setiba
di rumah, Yoga langsung mempercepat langkah menuju kamar. Tak tahan lagi dengan
lelah menuju kamar. Tak tahan lagi dengan lelah yang ada, dia langsung
merebahkan tubuhnya di atas kasur yang setiap malam menjadi teman terbaiknya.
Etalase foto-foto kamar menjadi sasaran penglihatan dirinya. Tampak ada satu
foto di sana yang tak henti ditatap. Mungkin foto itu menyimpan sejuta
kenangan. Ya, foto itu adalah foto bersama sang adik sewaktu di London, Inggris
dulu. Tampak senyuman begitu lebar, terlihat wajah mereka bagitu menikmati
liburan sekolah dulu. Wajarlah, itu kali pertama mereka menginjakkan kaki di
luar negeri. Apalagi di Inggris, sungguh menyenangkan. Dentuman jam dinding
kamar yang kini mengarah pada angka satu itu tak membuat Yoga untuk segera
mengakhiri khayalannya. Mungkin pikirannya masih kacau, raut wajahnya sungguh
datar, tapi tatapannya masih mengarah ke foto yang tadi.
“Yoga, ayo tidur cepat.
Jangan begadang lagi. Besok pagi kita ke rumah om Ryan. Dia sudah dating dari
Jepang. Mungkin saja nanti ada buah tangan dari om mu itu.” tiba-tiba suara ibu
terdengar begitu lantang.
Yoga
berencana mengabaikan perkataan ibunya, tapi beberapa menit menjelang seruan
sang Ibu tiba-tiba lampu di kamar sudah mati. Ya, kali ini Yoga mendengar
perintah perempuan parubaya itu. Dan entah ada angin apa, paginya Yoga bangun
terlalu pagi. Tak seperti hari-hari sebelumnya yang begitu sulit dibangunkan
oleh sang ibu. Kali ini Yoga segera menoleh dan mengambil jam yang sehari-hari
mejadi musuh terbesarnya, sebelum dia terusik oleh bunyi yang begitu keras dari
jam itu, ia buru-buru mematikan alarm.
Pagi
itu sungguh sejuk, matahari kini mulai menampakkan sinarnya. Seperti biasa ia
bertugas memberi sentuhan nafas kepada masyarakat bumi ini. Tampaknya hari itu
cuaca sangat bersahabat. Pedagang kaki lima, angkutan umum serta pejalan kaki
berlalu lalang sudah mulai terlihat. Mereka kini sudah tampak sibuk mencari
kumpulan rupiah untuk tetap berpijak di atas bumi pertiwi ini.
“Kak Yoga ayo cepat
siap-siap, kita berangkat ke rumah om Ryan sekarang.” tampak suara sang adik
yang begitu bersemangat tiba-tiba menyahut dari depan pintu kamar.
“Ahhh? Ngapain sepagi
ini berangkat? Lagian om Ryan juga pasti masih melek di sana.” sahut Yoga
dengan wajah yang sungguh datar.
“Aku udah gak sabar mau
dapat oleh-oleh dari om Ryan. Ayo buruan. Kalau telat nanti bisa-bisa kita
tidaik kebagian. Ayo dong kak buruan.” nampak suara itu cukup memaksa.
Mau
gak mau, suka gak suka kali ini Yoga harus betul-betul menurut kata sang adik.
Wajar, sang adik yang sering disapa Nia kini duduk di tingkat menengah pertama
itu cukup memaksa kini duduk di tingkat menengah pertama itu begitu bersemangat
jika ada sanak keluarga mereka yang sudah menampakkan batang hidungnya ke
Indonesia, seperti kebiasaan sebelumnya tak lain tak bukan hanya mengincar buah
tangannya saja. Ya sesederhana itu kebahagiaan dia sepertinya. Bahkan tak
sering Nia sudah memesan terlebih dahulu. Baju, tas, bahkan sepatu buatan asli
dari sana sudah menjadi incaran Nia.
Akhirnya
mereka tiba di rumah yang berlantai dua milik om Ryan. Rumah yang cukup
strategis, karena terletak di tengah tengah kota yang selalu dipenuhi dengan
hiruk-pikuk keramaian. Kendaraan tak henti-hentinya berlalu lalang di depan
rumahnya om Ryan. Melihat keluarganya datang, om Ryan segera menyambut mereka
di luar rumah. Tampak senyum begitu lebar terpancar dari wajah om Ryan. Wajar
tiga bulan lebih om Ryan baru menginjakkan kaki lagi di tanah air Indonesia dan
sudah lama tak bertatap muka dengan sanak saudara yang ada di Indonesia. Om
Ryan usaha di bidang Desain Iterior yang kini namanya makin dikenal di Jepang.
Usaha ini sudah digelutinya semenjak tiga tahun lalu. Om Ryan kini juga
mempunyai banyak karyawan yang tiap bulan harus di gajinya.
“Om, oleh-olehnya mana?
Pesanan aku ada kan?” tiba-tiba suara itu terdengar di selah-selah jumpa kangen
itu berlangsung.
“Tenang, ada kok
oleh-oleh buat kalian semua. Ayo naik, pesanan kamu ada di atas.”
Disela-sela
melihat buah tangan dari om Ryan dan percakapan berlangsung begitu indah,
tiba-tiba om Ryan menanyakan pendidikan Yoga. Wajar, Yoga memang sudah lurus
SMA tahun ini.
“Yoga, kamu mau lanjut
kuliah dimana?”
“Hmmm, masih bingung
om, tapi rencana mau kuliah di universitas yang ada di Jakarta saja. Mau coba
simak UI dulu ambil jurusan hukum om.” jawab Ryan tampak tersenyum
“Oh gitu. Kenapa gak
ikut jejak langkah om? Kamu coba sekolah di luar saja, kalau kamu tekun dan
ulet nanti bisa langsung di rekrut perusahan besar yang ada di sana. Wah, pasti
om, ibu, sama ayahmu akan sangat bangga. Atau paling tidak kamu buka usaha
sendiri, lumayanlah bisa membantu kehidupan orang-orang disana untuk menjadi
karyawanmu” om Indra member saran.
“Om bukan orang pertama
yang nyaranin kayak gitu. Tapi ngomong-ngomong om sendiri kenapa ga buka
usahanya di Indonesia saja? Om juga pasti gak bakal capek bolak-balik
Jepang-Indonesia.” Ryan menjawab dengan nada yang begitu serius.
“Jepang itu Negara
maju, mungking kamu sendiri tahu kalau penduduk Jepang terkenal dengan pekerja
keras. Om bisa bedaain rasanya waktu SD hingga SMP om menuntut ilmu di Negara
ini. Tapi saat SMA hingga om berkuliah dan akhirnya bekerja hingga bisa membuka
usaha di Jepang itu rasanya sangat beda sekali.”
“Beda? Emang apa
bedanya om?” Ryan semakin penasaran.
“Sangat beda. Kamu tau
gak? Hal yang bisa membuat penduduk-penduduk Jepang banyak yang berhasil?
Karena penduduk Jepang adalah tipe pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai
di Jepang 2450 jam per tahun. Itu sangat berbeda jauh dengan yang ada di
Indonesia yang bisa dikatakan jam kerja pegawainya hanya berkisar 1500an jam
per tahun. Sangat jauh kan? Bukan cuman itu saja, siswa-siswi di sana jika
mereka mengalami kegagalan, itu adalah hal yang paling memalukan dan terbrtuk bagi mereka, bahkan mereka bisa
membunuh dirinya sendiri. Maka dari itu kenapa om nyuruh kamu untuk bisa
melanjutkan pendidikan di luar terutama di Jepang. Biar nantinya kamu bisa
belajar dan sukses kelak.” kata om Ryan yang tampaknya tahu semua tentang
Negara Jepang itu.
Yoga
terdiam. Percakapan mereka tampaknya terhenti sejenak. Yoga mungkin lagi
mencerna penjelasan om Ryan tadi. Ya, tidak ada yang salah memang dari ungkapan
om Ryan itu yang membuat Yoga tiba-tiba tak mengeluarkan respon apa pun.
“Hey, jangan bengong”
om Ryan menepuk pundak keponakannya itu tiba-tiba.
“(Yoga terkaget)! Emang
yang bengong siapa? Om ada-ada saja”
Percakapan
yang tak begitu lama namun tampak serius tadi rupanya berakhir disini. Lantara
sudah terdengar kicauan sang ibu yang sedari tadi memanggil untuk segera
pulang. Ya, perjumpaan dan kangen-kangenan dengan om Ryan nampaknya berakhir
disaat matahari sudah tak menampakkan dirinya lagi. Hari yang sudah gelap itu
memanggil mereka untuk kembali ke rumah. Semuanya naik ke mobil dan bergegas pulang. Di tengah perjalanan
yang cukup melelahkan, tiba-tiba saja terlihat sekumpulan anak muda dari sudut
kaca mobil yang nampak terlihat melakukan tawuran. Ibu langsung menelan ludah.
Tawuran itu sangat mengagetkan. Bagaimana mungkin disaat malam yang mengharuskan
mereka sudah berada di rumah, masih ada saja terlihat melakukan tawuran lengkap
dengan seragam sekolah yang masih menempel di badan mereka.
“Sungguuh miris memang
menyaksikan potret anak muda sekarang, masih ada saja tawuran malam-malam
begini. Huu.” ibu menghela napas.
Agar
dapat cepat tiba di rumah, ayah memutar balik mobil dan memilih jalan lain
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Ya, nampaknya mereka juga begitu
takut melihat tawuran yang nampak ekstrem itu. Perjalan ke rumah pun berlanjut.
Di bawah naungan langit yang dipenuhi bintang-bintang indah, diiringi kicauan
burung dan melintas terowongan gelap, perjalanan setengah jam tidak terasa.
Mereka kini tibah di rumah.
Esok
hari, di siang bolong. Ibu tampak tercengan melihat berita di TV. Rupanya,
tawuran kemarin malam yang dilihat dengan mata kepala sendiri itu menjadi pusat
perhatian dan diliput oleh banyak media. Wajah ibu tampak kusut, sangat
terkejut. Rupanya, tawuran itu memakan dua korban hingga meninggal, lantaran
terkena tusukan benda tajam.
“Aduhh, kasian
anak-anak itu. Tapi, itu resikonya! Sudah malam juga masih punya kesempatan
melakukan tawuran. Anak jaman sekarang!” ibu tampak iba, tapi sekaligus
jengkel.
“Kenapa bu?” tiba-tiba
terdengar suara Yoga menghampiri di ruang TV.
“ini tawuran kemarin
yang kita lihat itu diberitakan. Ternyata ada korban yang meninggal dua orang”
“Oh ya? Siapa bu?”
“Gak tahu juga. Oh ya
ingat, kamu jangan sampai melakukan hal seperti itu. Ibu gak mau mendengar kamu
terlibat hal-hal demikian. Pokoknya jangan sampai! Kamu harus ingat itu yah.
Kamu gak mau kan jadi korban seperti mereka?” Ibu tampak prihatin.
“Ibu apaan sih? Gak
usah khawatir sama Yoga. Yoga tahu apa yang harus Yoga lakukan!”
“Baguslah. Semoga itu
bukan hanya omongan belaka kamu saja. Ibu cuman mau lihat kamu bisa menjadi
orang yang berguna kelak. Mau jadi apa anak muda itu kalau kerjaannya cuma
melakukan tawuran dan perkelahian terus.” ibu menyeka dahi.
“Iya bu.”
“Oh ya, terus bagaimana
dengan kuliahmu? Mau lanjut dimana? Apa tidak ada rencana melanjutkan di luar
saja? Ibu cuman takut kalau nantinya kamu akan terpengaruh dengan hal-hal
seperti itu. Melakukan demo, perkelahian, sampai tawuranlah. Kamu sendiri juga
sudah sering lihatkan berita-berita di tv yang setiap harinya hanya memberitakan
perkelahian anak sekolah jaman sekarang.” wajah ibu tampak begitu cemas.
“(Yoga menghela napas).
Aku mau lanjut disini saja bu. Teman-teman Yoga juga kebanyakan lanjut disini
juga. Lagipula tadikan Yoga sudah bilang. Ibu gak usah khawatir dengan hal
seperti itu. Yoga pasti bisa control diri untuk tidak melakukan hal demikian.”
Yoga tampak menyakinkan.
“Gimana kalau kamu coba
di Jepang saja dulu nak. Di sana juga ada om Ryan yang bisa control kamu setiap
hari. Lagi pula ibu ga mau biarin kamu keluar kalau ga ada sanak keluarga
disana. Ibu begitu miris saja melihat anak muda jaman sekarang! Kerjanya hanya
tawuran mulu.”
“Gak bu disini saja.
Ibu hanya keliru saja. Lagian kualitas anak Indonesia sekarang lagi
hebat-hebatnya. Dan Yoga bisa jelaskan kenapa. Beberapa teman Yoga di SMA dulu
bisa meraih juara olimpiade robotic, olimpiade kimia, dan olimpiade fisika.
Bukan hanya disekolah Yoga, pemuda Indonesia lainnya di undang tur hiphop
keliling Amerika, NewYork. Ada juara dunia juga dalam paduan suara bahakan
terakhir ini kita melihat bendera Indonesia dikibarkan saat atlet bulu tangkis
kita menjadi juara tingkat dunia di China. Mungkin mereka semua tak pernah
dilihata dan didengar oleh rakyat Indonesia. Karena hampir semua media hanya
memberitakan keburukan pemuda Indonesia saja. Dan para penonton pun lebih
tertarik menyaksikan info-info negativ anak muda sekarang tanpa sadar begitu
banyak sisi positif yang bisa dibanggakan bu.” Yoga tampak serius menjelaskan.
Ibu
tampak terdiam sejenak. Mungkin kaget dengan jawaban putra pertamanya itu. Ibu
hanya menghela nafas panjang dan tersenyum pada Yoga. Tak tahu harus berkata
apa lagi.
“Kayak yang seperti ibu
lihat sekarangkan? Media semua gempar-gempornya memberitakan tawuran kemarin.
Kenapa bukan pemuda yang berprestasi saja yang terus diberitakan? Karena
pelajar yang sedang belajar tidak menarik dibandingkan pelajar yang hobbynya
membacok. Ada begitu banya pelajar Indonesia di luar sana yang lagi belajar,
menggali potensi mereka karena mereka berada di dalam lingkungan sekolah terus.
Yoga juga mau bu suatu saat nanti menjadi satu diantara ribuan pemuda Indonesia
yang bisa mengharukan nama Negara kita di luar sana nanti.” tambahnya
meyakinkan sang ibu tercinta.
Lagi
lagi ibu hanya tersenyum kagum mendengar sang putra berkata demikian. Nampaknya
Yoga memang kini sudah tumbuh dewasa. Dia sudah bisa menentukan jalan hidupnya
sendiri. Sang ibu tiba tiba memeluk Yoga, matanya berkaca-kaca tangannya begitu
erat menggenggam bahu Yoga.
“Sayang kamu harus
berjanji sama diri kamu sendiri. Kamu bisa jadi orang sukses, kamu bisa
membangun Negara tempat kita tumbuh menjadi Negara yang lebih mandiri.
Sekarang, dimana pun kamu memilih tempat kuliah ibu akan sangat mendukung.”
suara sang ibu tampak bergetar.
Entah
ada angin apa, Yoga yang terkenal paling susah menangis di depan banyak orang.
Kali ini tak bisa ditahannya. Kali ini pipi manisnya bercucuran air mata.
Merasa sangat terharu karena sang ibu begitu peduli dengannya. Padahal Yoga
tahu, sebenarnya sang ibu tak pernah ikhlas membiarkannya untuk melanjutkan
pendidikan di luar. Hanya saja sang ibu harus menghapus rasa egonya biar kelak
sang anak tidak terjerumus dengan hal-hal yang tak diinginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar