Senin, 09 Juni 2014

Sikap Untuk Bangsaku


Malam begitu gelap. Tak ada pancaran sinar matahari menyinari bumi lagi, tapi jangan khawatir itu hanya terjadi malam hari saja. Bintang-bintang di langit sudah cukup membantu menerangi bumi ditambah cahaya lampu di tiap perempatan jalan ibu kota.
Jalanan cukup sepi, mungkin karena sudah larut malam. Tidak terlalu banyak hiruk pikuk suara kendaraan yang mengganggu. Hanya ada beberapa pejalan kaki saja. Langkah Yoga begitu pelan, entah apa yang ada di benaknya sekarang. Terus berjalan menyusuri jalanan ibu kota tanpa ada arah tujuan sedari tadi. Hanya ditemani alunan musik favoritnya saja.
“Yoga, Yoga, tunggu!” suara dari belakang tampak memanggil. Yoga tak menoleh sedikit pun. Mungkin pengaruh earphone yang dipakainya. “Yoga, Yoga, tunggu!” suara itu kembali terulang namun lebih keras lagi.  Kali ini Yoga akhirnya menoleh. Melihat dari kejauhan sosok yang memanggilnya. Kulit sawo matang, tinggi, dan terlihat manis menggunakan kaos oblong, itu ternyata teman sewaktu di SMA namanya Harrys.
“Hey Rys, kenapa?”
“Mau kemana? Dari tadi siang ibumu menelfon, dikiranya kamu main ke rumah.” Kata Harrys dengan menunjukkan kecemasan.
“Oh, iya aku tadi bilang ke ibu aku ke rumahmu, tapi itu Cuma akal-akalan saja biar ibu tidak cemas.” Yoga menjawab dengan santai.
Tak ada respon rasa bersalah yang ditunjukkan Yoga, ia malah terus berjalan melangkahkan kakinya entah kemana tak ada tujuan sama sekali. Harrys hanya terus mengikuti meski geram karena sikap sahabatnya itu.
“Rys, kamu mau lanjut dimana?” pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut Yoga. “Minggu depan, aku baru mau ikut tes. Mau lanjut di luar saja. Maunya di Inggris, Oxford. Selasa nanti sudah tes mau ambil hukum. Minggu depannya lagi ada tes lagi dengan jurusan yang sama sih, cuman di salah satu universitas di Singapore. Sebenarnya niat ambil jurusan Hubungan Internasioanal juga tapi masih ragu.” Harrys Nampak semangat menjelaskan rencana perkuliahannya. “Kamu, rencananya dimana? Tidak niat lanjut di luar juga?” Tanya Harrys balik. Lagi, Yoga tak berguman dan tak mengeluarkan sepatah kata atas pertanyaan sahabatnya itu. Entalah apa yang ada di benaknya sekarang. Sungguh tak bisa ditebak.
Kini mereka sudah berjalan terlalu jauh, sangat jauh. Semenjak percakapan tadi, tak ada percakapan yang begitu berarti lagi. Hanya selingan saja yang benar-benar tak punya nillai.
“Kenapa pilih kuliah di luar, Rys? Di Indonesia juga banyak universitas yang bagus kan. Lagian lulusan di sini juga banyak yang hidup mereka terjamin dan akhirnya diperkerjakan di perusahaan besar juga.” Sahut Yoga yang baru merespon. Aneh memang.
“Mereka memang menuntut ilmu disini, tapi pada akhirnya mereka juga bekerja di perusahaan besar di luar?” Harrys menatap tajam Yoga. Tak ada respon lagi. Tiba-tiba suara nada dering yang cukup lantang terdengar begitu dahsyat. Rupanya bunyi itu berasal dari telepon genggam milik Yoga. Kali ini Yoga harus mengakhiri percakapannya dengan Harrys. Karena sang ibu sudah terlalu cemas dan menyuruhnya segera balik ke rumah.
“Setiba di rumah, Yoga langsung mempercepat langkah menuju kamar. Tak tahan lagi dengan lelah menuju kamar. Tak tahan lagi dengan lelah yang ada, dia langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur yang setiap malam menjadi teman terbaiknya. Etalase foto-foto kamar menjadi sasaran penglihatan dirinya. Tampak ada satu foto di sana yang tak henti ditatap. Mungkin foto itu menyimpan sejuta kenangan. Ya, foto itu adalah foto bersama sang adik sewaktu di London, Inggris dulu. Tampak senyuman begitu lebar, terlihat wajah mereka bagitu menikmati liburan sekolah dulu. Wajarlah, itu kali pertama mereka menginjakkan kaki di luar negeri. Apalagi di Inggris, sungguh menyenangkan. Dentuman jam dinding kamar yang kini mengarah pada angka satu itu tak membuat Yoga untuk segera mengakhiri khayalannya. Mungkin pikirannya masih kacau, raut wajahnya sungguh datar, tapi tatapannya masih mengarah ke foto yang tadi.
“Yoga, ayo tidur cepat. Jangan begadang lagi. Besok pagi kita ke rumah om Ryan. Dia sudah dating dari Jepang. Mungkin saja nanti ada buah tangan dari om mu itu.” tiba-tiba suara ibu terdengar begitu lantang.
Yoga berencana mengabaikan perkataan ibunya, tapi beberapa menit menjelang seruan sang Ibu tiba-tiba lampu di kamar sudah mati. Ya, kali ini Yoga mendengar perintah perempuan parubaya itu. Dan entah ada angin apa, paginya Yoga bangun terlalu pagi. Tak seperti hari-hari sebelumnya yang begitu sulit dibangunkan oleh sang ibu. Kali ini Yoga segera menoleh dan mengambil jam yang sehari-hari mejadi musuh terbesarnya, sebelum dia terusik oleh bunyi yang begitu keras dari jam itu, ia buru-buru mematikan alarm.
Pagi itu sungguh sejuk, matahari kini mulai menampakkan sinarnya. Seperti biasa ia bertugas memberi sentuhan nafas kepada masyarakat bumi ini. Tampaknya hari itu cuaca sangat bersahabat. Pedagang kaki lima, angkutan umum serta pejalan kaki berlalu lalang sudah mulai terlihat. Mereka kini sudah tampak sibuk mencari kumpulan rupiah untuk tetap berpijak di atas bumi pertiwi ini.
“Kak Yoga ayo cepat siap-siap, kita berangkat ke rumah om Ryan sekarang.” tampak suara sang adik yang begitu bersemangat tiba-tiba menyahut dari depan pintu kamar.
“Ahhh? Ngapain sepagi ini berangkat? Lagian om Ryan juga pasti masih melek di sana.” sahut Yoga dengan wajah yang sungguh datar.
“Aku udah gak sabar mau dapat oleh-oleh dari om Ryan. Ayo buruan. Kalau telat nanti bisa-bisa kita tidaik kebagian. Ayo dong kak buruan.” nampak suara itu cukup memaksa.
Mau gak mau, suka gak suka kali ini Yoga harus betul-betul menurut kata sang adik. Wajar, sang adik yang sering disapa Nia kini duduk di tingkat menengah pertama itu cukup memaksa kini duduk di tingkat menengah pertama itu begitu bersemangat jika ada sanak keluarga mereka yang sudah menampakkan batang hidungnya ke Indonesia, seperti kebiasaan sebelumnya tak lain tak bukan hanya mengincar buah tangannya saja. Ya sesederhana itu kebahagiaan dia sepertinya. Bahkan tak sering Nia sudah memesan terlebih dahulu. Baju, tas, bahkan sepatu buatan asli dari sana sudah menjadi incaran Nia.
Akhirnya mereka tiba di rumah yang berlantai dua milik om Ryan. Rumah yang cukup strategis, karena terletak di tengah tengah kota yang selalu dipenuhi dengan hiruk-pikuk keramaian. Kendaraan tak henti-hentinya berlalu lalang di depan rumahnya om Ryan. Melihat keluarganya datang, om Ryan segera menyambut mereka di luar rumah. Tampak senyum begitu lebar terpancar dari wajah om Ryan. Wajar tiga bulan lebih om Ryan baru menginjakkan kaki lagi di tanah air Indonesia dan sudah lama tak bertatap muka dengan sanak saudara yang ada di Indonesia. Om Ryan usaha di bidang Desain Iterior yang kini namanya makin dikenal di Jepang. Usaha ini sudah digelutinya semenjak tiga tahun lalu. Om Ryan kini juga mempunyai banyak karyawan yang tiap bulan harus di gajinya.
“Om, oleh-olehnya mana? Pesanan aku ada kan?” tiba-tiba suara itu terdengar di selah-selah jumpa kangen itu berlangsung.
“Tenang, ada kok oleh-oleh buat kalian semua. Ayo naik, pesanan kamu ada di atas.”
Disela-sela melihat buah tangan dari om Ryan dan percakapan berlangsung begitu indah, tiba-tiba om Ryan menanyakan pendidikan Yoga. Wajar, Yoga memang sudah lurus SMA tahun ini.
“Yoga, kamu mau lanjut kuliah dimana?”
“Hmmm, masih bingung om, tapi rencana mau kuliah di universitas yang ada di Jakarta saja. Mau coba simak UI dulu ambil jurusan hukum om.” jawab Ryan tampak tersenyum
“Oh gitu. Kenapa gak ikut jejak langkah om? Kamu coba sekolah di luar saja, kalau kamu tekun dan ulet nanti bisa langsung di rekrut perusahan besar yang ada di sana. Wah, pasti om, ibu, sama ayahmu akan sangat bangga. Atau paling tidak kamu buka usaha sendiri, lumayanlah bisa membantu kehidupan orang-orang disana untuk menjadi karyawanmu” om Indra member saran.
“Om bukan orang pertama yang nyaranin kayak gitu. Tapi ngomong-ngomong om sendiri kenapa ga buka usahanya di Indonesia saja? Om juga pasti gak bakal capek bolak-balik Jepang-Indonesia.” Ryan menjawab dengan nada yang begitu serius.
“Jepang itu Negara maju, mungking kamu sendiri tahu kalau penduduk Jepang terkenal dengan pekerja keras. Om bisa bedaain rasanya waktu SD hingga SMP om menuntut ilmu di Negara ini. Tapi saat SMA hingga om berkuliah dan akhirnya bekerja hingga bisa membuka usaha di Jepang itu rasanya sangat beda sekali.”
“Beda? Emang apa bedanya om?” Ryan semakin penasaran.
“Sangat beda. Kamu tau gak? Hal yang bisa membuat penduduk-penduduk Jepang banyak yang berhasil? Karena penduduk Jepang adalah tipe pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang 2450 jam per tahun. Itu sangat berbeda jauh dengan yang ada di Indonesia yang bisa dikatakan jam kerja pegawainya hanya berkisar 1500an jam per tahun. Sangat jauh kan? Bukan cuman itu saja, siswa-siswi di sana jika mereka mengalami kegagalan, itu adalah hal yang paling memalukan  dan terbrtuk bagi mereka, bahkan mereka bisa membunuh dirinya sendiri. Maka dari itu kenapa om nyuruh kamu untuk bisa melanjutkan pendidikan di luar terutama di Jepang. Biar nantinya kamu bisa belajar dan sukses kelak.” kata om Ryan yang tampaknya tahu semua tentang Negara Jepang itu.
Yoga terdiam. Percakapan mereka tampaknya terhenti sejenak. Yoga mungkin lagi mencerna penjelasan om Ryan tadi. Ya, tidak ada yang salah memang dari ungkapan om Ryan itu yang membuat Yoga tiba-tiba tak mengeluarkan respon apa pun.
“Hey, jangan bengong” om Ryan menepuk pundak keponakannya itu tiba-tiba.
“(Yoga terkaget)! Emang yang bengong siapa? Om ada-ada saja”
Percakapan yang tak begitu lama namun tampak serius tadi rupanya berakhir disini. Lantara sudah terdengar kicauan sang ibu yang sedari tadi memanggil untuk segera pulang. Ya, perjumpaan dan kangen-kangenan dengan om Ryan nampaknya berakhir disaat matahari sudah tak menampakkan dirinya lagi. Hari yang sudah gelap itu memanggil mereka untuk kembali ke rumah. Semuanya naik ke mobil  dan bergegas pulang. Di tengah perjalanan yang cukup melelahkan, tiba-tiba saja terlihat sekumpulan anak muda dari sudut kaca mobil yang nampak terlihat melakukan tawuran. Ibu langsung menelan ludah. Tawuran itu sangat mengagetkan. Bagaimana mungkin disaat malam yang mengharuskan mereka sudah berada di rumah, masih ada saja terlihat melakukan tawuran lengkap dengan seragam sekolah yang masih menempel di badan mereka.
“Sungguuh miris memang menyaksikan potret anak muda sekarang, masih ada saja tawuran malam-malam begini. Huu.” ibu menghela napas.
Agar dapat cepat tiba di rumah, ayah memutar balik mobil dan memilih jalan lain untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Ya, nampaknya mereka juga begitu takut melihat tawuran yang nampak ekstrem itu. Perjalan ke rumah pun berlanjut. Di bawah naungan langit yang dipenuhi bintang-bintang indah, diiringi kicauan burung dan melintas terowongan gelap, perjalanan setengah jam tidak terasa. Mereka kini tibah di rumah.
Esok hari, di siang bolong. Ibu tampak tercengan melihat berita di TV. Rupanya, tawuran kemarin malam yang dilihat dengan mata kepala sendiri itu menjadi pusat perhatian dan diliput oleh banyak media. Wajah ibu tampak kusut, sangat terkejut. Rupanya, tawuran itu memakan dua korban hingga meninggal, lantaran terkena tusukan benda tajam.
“Aduhh, kasian anak-anak itu. Tapi, itu resikonya! Sudah malam juga masih punya kesempatan melakukan tawuran. Anak jaman sekarang!” ibu tampak iba, tapi sekaligus jengkel.
“Kenapa bu?” tiba-tiba terdengar suara Yoga menghampiri di ruang TV.
“ini tawuran kemarin yang kita lihat itu diberitakan. Ternyata ada korban yang meninggal dua orang”
“Oh ya? Siapa bu?”
“Gak tahu juga. Oh ya ingat, kamu jangan sampai melakukan hal seperti itu. Ibu gak mau mendengar kamu terlibat hal-hal demikian. Pokoknya jangan sampai! Kamu harus ingat itu yah. Kamu gak mau kan jadi korban seperti mereka?” Ibu tampak prihatin.
“Ibu apaan sih? Gak usah khawatir sama Yoga. Yoga tahu apa yang harus Yoga lakukan!”
“Baguslah. Semoga itu bukan hanya omongan belaka kamu saja. Ibu cuman mau lihat kamu bisa menjadi orang yang berguna kelak. Mau jadi apa anak muda itu kalau kerjaannya cuma melakukan tawuran dan perkelahian terus.” ibu menyeka dahi.
“Iya bu.”
“Oh ya, terus bagaimana dengan kuliahmu? Mau lanjut dimana? Apa tidak ada rencana melanjutkan di luar saja? Ibu cuman takut kalau nantinya kamu akan terpengaruh dengan hal-hal seperti itu. Melakukan demo, perkelahian, sampai tawuranlah. Kamu sendiri juga sudah sering lihatkan berita-berita di tv yang setiap harinya hanya memberitakan perkelahian anak sekolah jaman sekarang.” wajah ibu tampak begitu cemas.
“(Yoga menghela napas). Aku mau lanjut disini saja bu. Teman-teman Yoga juga kebanyakan lanjut disini juga. Lagipula tadikan Yoga sudah bilang. Ibu gak usah khawatir dengan hal seperti itu. Yoga pasti bisa control diri untuk tidak melakukan hal demikian.” Yoga tampak menyakinkan.
“Gimana kalau kamu coba di Jepang saja dulu nak. Di sana juga ada om Ryan yang bisa control kamu setiap hari. Lagi pula ibu ga mau biarin kamu keluar kalau ga ada sanak keluarga disana. Ibu begitu miris saja melihat anak muda jaman sekarang! Kerjanya hanya tawuran mulu.”
“Gak bu disini saja. Ibu hanya keliru saja. Lagian kualitas anak Indonesia sekarang lagi hebat-hebatnya. Dan Yoga bisa jelaskan kenapa. Beberapa teman Yoga di SMA dulu bisa meraih juara olimpiade robotic, olimpiade kimia, dan olimpiade fisika. Bukan hanya disekolah Yoga, pemuda Indonesia lainnya di undang tur hiphop keliling Amerika, NewYork. Ada juara dunia juga dalam paduan suara bahakan terakhir ini kita melihat bendera Indonesia dikibarkan saat atlet bulu tangkis kita menjadi juara tingkat dunia di China. Mungkin mereka semua tak pernah dilihata dan didengar oleh rakyat Indonesia. Karena hampir semua media hanya memberitakan keburukan pemuda Indonesia saja. Dan para penonton pun lebih tertarik menyaksikan info-info negativ anak muda sekarang tanpa sadar begitu banyak sisi positif yang bisa dibanggakan bu.” Yoga tampak serius menjelaskan.
Ibu tampak terdiam sejenak. Mungkin kaget dengan jawaban putra pertamanya itu. Ibu hanya menghela nafas panjang dan tersenyum pada Yoga. Tak tahu harus berkata apa lagi.
“Kayak yang seperti ibu lihat sekarangkan? Media semua gempar-gempornya memberitakan tawuran kemarin. Kenapa bukan pemuda yang berprestasi saja yang terus diberitakan? Karena pelajar yang sedang belajar tidak menarik dibandingkan pelajar yang hobbynya membacok. Ada begitu banya pelajar Indonesia di luar sana yang lagi belajar, menggali potensi mereka karena mereka berada di dalam lingkungan sekolah terus. Yoga juga mau bu suatu saat nanti menjadi satu diantara ribuan pemuda Indonesia yang bisa mengharukan nama Negara kita di luar sana nanti.” tambahnya meyakinkan sang ibu tercinta.
Lagi lagi ibu hanya tersenyum kagum mendengar sang putra berkata demikian. Nampaknya Yoga memang kini sudah tumbuh dewasa. Dia sudah bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Sang ibu tiba tiba memeluk Yoga, matanya berkaca-kaca tangannya begitu erat menggenggam bahu Yoga.
“Sayang kamu harus berjanji sama diri kamu sendiri. Kamu bisa jadi orang sukses, kamu bisa membangun Negara tempat kita tumbuh menjadi Negara yang lebih mandiri. Sekarang, dimana pun kamu memilih tempat kuliah ibu akan sangat mendukung.” suara sang ibu tampak bergetar.
Entah ada angin apa, Yoga yang terkenal paling susah menangis di depan banyak orang. Kali ini tak bisa ditahannya. Kali ini pipi manisnya bercucuran air mata. Merasa sangat terharu karena sang ibu begitu peduli dengannya. Padahal Yoga tahu, sebenarnya sang ibu tak pernah ikhlas membiarkannya untuk melanjutkan pendidikan di luar. Hanya saja sang ibu harus menghapus rasa egonya biar kelak sang anak tidak terjerumus dengan hal-hal yang tak diinginkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar